Sepeda di mana-mana

Sepeda di mana-mana


DAPATKAH Anda merasakan bahwa belakangan ini di Indonesia—bahkan mungkin di seluruh dunia—sedang terjadi pertumbuhan jumlah pengguna sepeda? Saya dapat. Setidaknya orang-orang terdekat dalam lingkungan pekerjaan dan sekitar rumah saya begitu menggandrungi sepeda dan secara rutin melakukan perjalanan bersepeda.
Meski belum ada data resmi soal jumlah pengguna sepeda reguler di Tanah Air, fenomena yang terjadi setidaknya 2-3 tahun terakhir menunjukkan booming sepeda.
Surat kabar terbesar Indonesia, Kompas, juga memotret momentum ini dan menjadikannya tema utama ulang tahun mereka yang ke-45 tahun lalu. Kelompok Kompas-Gramedia bahkan memiliki klub bersepeda beranggotakan lebih dari seratus orang, dan cukup aktif menyelenggarakan acara bersepeda.
Data Earth Policy Institute menyebut, produksi sepeda dunia sebesar 94 juta per tahun dalam kurun 1990-2002 telah meningkat menjadi 130 juta pada 2007, melampaui produksi mobil yang sebesar 70 juta. Di beberapa negara, pertumbuhan jumlah penjualan ini dibantu oleh anjuran pemerintahnya—disertai insentif menarik—untuk menggunakan sepeda. Contohnya, pada 2009 pemerintah Italia mulai meluncurkan serangkaian program insentif untuk mendorong pembelian sepeda untuk memperbaiki kualitas udara perkotaan dan mengurangi jumlah mobil di jalan, dengan memberikan potongan 30 persen dari setiap harga sepeda.
China juga menunjukkan peningkatan volume sepeda. Pada 2007, jumlahnya mencapai 90 juta, tetapi kini menyentuh 430 juta, meski tingkat kepemilikan rata-rata masih lebih tinggi di Eropa. Di Belanda, satu orang punya lebih dari satu sepeda, dan sebanyak 27 persen dari seluruh perjalanan menggunakan sepeda. Sementara Denmark dan Jerman mendekati satu sepeda per orang, dengan persentase perjalanan sepeda 18 persen (Denmark) dan 10 persen (Jerman).
Capaian-capaian tersebut tentu saja memiliki sebab-sebab. Belanda, Denmark, dan Jerman sebelumnya telah menyiapkan infrastruktur yang bersahabat terhadap para pesepeda: parkir khusus sepeda, integrasi penuh dengan transportasi umum, edukasi lalu lintas yang komprehensif dan pelatihan bagi pesepeda. Di sisi lain, hal ini pula yang membuat negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Inggris memiliki tingkat pengguna sepeda yang rendah: karena minimnya “grand design” dan kebijakan untuk itu, meski mereka sepertinya juga sedang menuju ke sana.
Sebagai sebuah moda transportasi personal, sepeda memang cukup ideal. Apa lagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan dan kesehatan. Bersepeda bisa memperbaiki sistem pernapasan, menurunkan polusi udara, mereduksi obesitas, meningkatkan kebugaran fisik. Sepeda juga tidak—secara langsung—mengemisikan karbon dioksida. Saya tulis “secara langsung” karena saya yakin sebenarnya pada tingkat tertentu proses produksi satu buah sepeda pasti memiliki jejak karbon sendiri. Satu hal yang paling penting kenapa sepeda menjadi begitu populer: secara umum harganya terjangkau oleh jutaan orang yang tidak sanggup membeli mobil.
Mengingat bentuknya yang ringkas (dan kini juga menjamur sepeda lipat yang bisa dibuat lebih ringkas lagi), enam sepeda bisa termuat dalam lajur jalan yang digunakan oleh satu mobil. Belum lagi untuk parkir: satu spasi parkir untuk satu mobil bisa digunakan untuk memarkir 20 sepeda. Efisiensi sepeda dalam hal emisi karbon sebagai substituen mobil untuk perjalanan pendek adalah akar pangkat tiga dibandingkan emisi dari mobil.
Membandingkan efisiensi sepeda dengan mobil mungkin terkesan tidak “apple-to-apple“. Akan tetapi, tidak bisa tidak, jika ingin meninjaunya dari sisi upaya penekanan jumlah emisi karbon atau okupasi lahan publik, pembandingan ini mestilah dilakukan.
Dan seperti yang sudah saya singgung di atas, efisiensi sepeda bukan hanya berefek pada lingkungan, melainkan juga kesehatan. Sepeda sangat ideal untuk mengembalikan keseimbangan asupan kalori dan pengeluaran rutin seseorang untuk biaya kesehatan: mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, arthritis, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Jika negara-negara Eropa (dan China) sudah menyiapkan infrastruktur yang memadai untuk menyambut ledakan sepeda—dan ledakan pertumbuhan ekonomi baru—bagaimana dengan Indonesia?
Kita masih perlu berpikir dan bekerja keras bahkan hanya untuk memperbaiki sarana umum yang paling dasar: jalur pejalan kaki. Hampir seluruh trotoar ibu kota (kecuali jalur protokol Sudirman-Thamrin) sudah diokupasi oleh pedagang dan…motor. Di sebuah jalan utama di Jakarta Barat, trotoar bahkan diratakan untuk menjadi bagian dari lahan parkir sebuah restoran besar, membuat pejalan kaki mesti berhati-hati jika melintas di situ, atau terkena risiko terserempet mobil.
Artinya, terlepas dari menjamurnya pengguna sepeda, pemangku kebijakan sepertinya tidak bisa terburu-buru memenuhi kebutuhan pesepeda sebelum kebutuhan paling hakiki dari jalan, yakni trotoar, dibenahi.
Hal lain yang juga menjadi perhatian saya adalah menjaga paradigma bahwa sepeda adalah moda pengganti kendaraan bermotor. Artinya, penggunaan sepeda idealnya bersifat substitutif, bukan sekadar adisional. Memang, tidak dapat dimungkiri, lanskap dan tata kota di Jakarta kerap memaksa orang memiliki rumah yang jauh dari tempat bekerja, sehingga amatlah berat (walau bukan tidak mungkin) jika orang yang tinggal di Bekasi, misalnya, mesti menggunakan sepeda sehari-hari ke kantor di Kebon Jeruk.
Risiko dari menganggap sepeda sebatas pada moda adisional membuat upaya pengurangan emisi karbon seperti sia-sia, karena pada kenyataannya mereka masih bergantung pada mobil atau motornya untuk perjalanan sehari-hari. Lebih buruk lagi, seperti fenomena yang kerap saya amati, jika sepeda hanya berfungsi sebagai bagian dari tren dan gaya hidup sehingga para pesepeda lebih sering disibukkan oleh gonta-ganti aksesoris dan memikirkan rencana jalan-jalan. (Foto oleh Firman Firdaus/NGI)

Selamat ulang tahun, pemanasan global!

Posted by Firman Firdaus on August 10, 2010
Tepatnya dua hari lalu, pemanasan global merayakan ulang tahunnya yang ke-35. Ini bukan sekadar sebagai pertanda bahwa kenaikan suhu global secara signifikan telah berlangsung selama 35 tahun, melainkan juga menandai usia terminologi pemanasan global itu sendiri.
Pada 8 Agustus 1975, Wally Broecker memublikasikan makalahnya “Are we on the brink of a pronounced global warming?” di jurnal Science. Itulah kali pertama, diduga, istilah pemanasan global atau global warming diperkenalkan.
Dalam jurnal tersebut, Broecker juga secara gamblang mengatakan bahwa pemanasan diakibatkan oleh karbon dioksida, dan bakal berdampak pada pertanian dan muka air laut. Prediksi yang sudah kita lihat dan rasakan sekarang: sulitnya menentukan musim tanam dan rusaknya lahan dan panen karena iklim yang tidak menentu dan perubahan pola migrasi hewan-hewan laut hanyalah beberapa contoh yang paling menempel dalam ingatan kita.
Analisis Broecker juga menjawab keraguan orang bahwa pemanasan global bukan tidak dapat diprediksi. Nyatanya, fenomena ini bisa diperkirakan bahkan ketika bukti-bukti empiris berupa rekaman temperatur global belum muncul.
Broecker adalah salah satu ilmuwan iklim besar di abad ke-20. Ada sekitar 400 makalah yang ditulisnya, dan 60 di antaranya masing-masing disebut dalam 100 makalah lain sebagai sumber. Konsentrasi Broecker adalah pada ilmu iklim purba dan geokimia laut.
Ulang tahun ini tentu saja bukan sesuatu yang patut dirayakan dengan sukacita. Sebaliknya, momentum ini menjadi pengingat bahwa Bumi yang kita diami masih berada dalam ancaman yang kita sendiri tidak dapat mengukurnya. Tanpa upaya yang serius dari semua pihak untuk mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, prediksi Broecker rasanya tinggal menunggu waktu. (Sumber: Realclimate.com)

Peta tutupan hutan global bisa jadi petunjuk level karbon dunia

Posted by Firman Firdaus on July 21, 2010
Untuk pertama kalinya, para ilmuwan, dengan menggunakan data satelit NASA, meluncurkan peta yang menggambarkan secara detail ketinggian hutan-hutan di seluruh dunia. Data ini bisa digunakan sebagai petunjuk jumlah karbon yang disimpan (carbon stock) dalam hutan-hutan dunia, dan seberapa cepat siklus karbon di ekosistem kembali ke atmosfer.
Menurut paparan yang disampaikan Michael Lefsky dari Colorado State University dalam jurnal Geophysical Research Letters, peta baru ini memperlihatkan hutan-hutan tertinggi terkonsentrasi di Pasifik Barat Laut di Amerika Utara, dan sebagian Asia Tenggara. Sementara hutan-hutan yang rendah ditemukan di Kanada utara dan Eurasia.
Selain menunjukkan hutan-hutan berdasarkan tinggi pohonnya, ke depannya peta yang merupakan kombinasi dari satelit ICESat, Terra, dan Aqua ini bisa digunakan sebagai alat untuk memperkirakan jumlah karbon yang terikat dalam hutan-hutan di Bumi, dan mencari jawaban ke mana 2 miliar ton karbon “hilang” dari atmosfer setiap tahunnya.
Manusia melepas sekitar 7 miliar ton karbon per tahun, kebanyakan dalam bentuk karbon dioksida. Sebanyak 3 miliar ton dari jumlah itu berakhir di atmosfer, dan 2 miliar ton di lautan. Belum diketahui ke mana sisanya yang 2 miliar ton. Sementara ini diduga karbon yang hilang tersebut tersimpan sebagai biomassa.
“Yang kita butuhkan adalah peta biomassa yang ada di atas tanah, dan peta ini bisa membantu kita,” kata Richard Houghton, pakar ilmu ekosistem terestrial. (Sumber: NASA)

Lahan parkir, cermin ketimpangan pembangunan?

Posted by Firman Firdaus on May 27, 2010
Beberapa waktu lalu, saat berkunjung ke Universitas Indonesia, Depok, saya menemukan perubahan yang begitu mencolok, setidaknya sejak saya lulus dari sana sembilan tahun lalu: bergantinya ruang terbuka hijau menjadi lahan parkir.
Hampir di semua fakultas, lahan yang ditumbuhi pepohonan tinggi tempat para mahasiswa biasa rehat atau sekadar melintas, dipapas, digantikan oleh beton dan konblok tempat mobil nongkrong. Saya mulai berpikir, apakah kampus ini didesain untuk para mahasiswa atau untuk mobil, karena sepertinya rasio antara taman dan tempat parkir di kampus UI Depok mulai tidak manusiawi.
Dalam perbincangan dengan Prof Gunawan Tjahyono, dosen arsitektur UI yang juga pecinta lingkungan, dia mengatakan semestinya ada kompensasi material bagi setiap luasan lahan yang beralih-guna menjadi tempat parkir, yang dibebankan ke para pemilik mobil. Masuk akal, meski terdengar utopis.
Kalau kita mau tarik ke lingkungan yang lebih luas, katakanlah Jakarta, kondisinya sama saja. Ledakan populasi kelas menengah telah memicu peningkatan jumlah pemilik mobil, membuat kebutuhan untuk lahan parkir menjadi sebuah keniscayaan. Dan yang menjadi korban biasanya lahan terbuka publik.
Pengelola lingkungan kampus UI Depok, atau Pemprov DKI, mungkin perlu belajar dari Enrique Peñalosa. Peñalosa adalah walikota Bogota, Kolombia, selama tiga tahun. Saat dia mulai menjabat pada 1998, hal pertama yang terpikir olehnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas hidup 70 persen warga—mayoritas—yang tidak punya mobil.
Peñalosa sadar, kota yang nyaman bagi anak-anak dan orang-orang tua mungkin juga nyaman bagi setiap orang. Di bawah kepemimpinannya, Bogota pun menciptakan dan merenovasi 1.200 taman, memperkenalkan sistem transportasi massal (yang kemudian kita adaptasi secara serampangan dalam bentuk busway), membangun ratusan kilometer jalur pesepeda dan trotoar bagi pejalan kaki, mengurangi kemacetan hingga 40 persen, menanam 100.000 pohon, dan melibatkan warga secara aktif untuk memperbaiki lingkungan tempat mereka tinggal. Filosofi perencanaan perkotaan sejenis juga diterapkan oleh Jaime Lerner saat menjadi walikota Curitiba, Brasil, dengan menerapkan sistem transportasi massal yang terjangkau dan ramah penglaju (commuter).
Dalam perbandingan yang mungkin tidak “apple to apple”, filosofi untuk mereduksi penggunaan mobil pribadi juga terjadi di Eropa. Sebanyak 35 persen warga Amsterdam bersepeda atau berjalan kaki ke kantor, seperempatnya menggunakan sarana umum, dan 40 persen menyetir. Di Paris, kurang dari setengah penglaju mengandalkan mobil.
Para desainer di New York bahkan meramalkan, pada 2038, sebanyak 60 persen New Yorker akan jalan kaki ke kantor, dan kota tersebut akan menjadi “surga pejalan kaki”.
Mungkin sudah saatnya pula para walikota dan penata kota di Tanah Air, atau pengelola lingkungan yang lebih kecil seperti kampus UI Depok atau kawasan perkantoran mulai berpikir untuk membangun kota untuk manusia, bukan untuk mobil (pribadi). Integrasi jalur pejalan dan sepeda menuju sarana transportasi massal akan membuat kota terasa lebih nyaman untuk ditinggali. Polusi udara, suara, belum lagi gangguan psikologis akibat kemacetan pun bakal berkurang. Hidup sehat itu lebih enak, bukan?

Indonesia-AS Jalin Kemitraan Bahari

Posted by Firman Firdaus on May 26, 2010
Dalam kurun waktu Juli-Agustus 2010, kapal penelitian Amerika Serikat, Okeanos Explorer akan bergabung dengan Baruna Jaya IV, kapal penelitian Indonesia, guna melakukan ekspedisi ilmiah di perairan Sangir-Talaud, Sulawesi Utara.
Kerja sama ini secara resmi diluncurkan pada Rabu (26/5) oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI, Agung Laksono, dan Sekretaris Niaga AS, H.E. Gary Locke di sela-sela acara Perayaan Kemitraan Bahari Indonesia-AS di Pelabuhan Nelayan Komersial Muara Baru, Jakarta Utara.
Agung menyatakan penelitian ini sejalan dengan program pembangunan bahari Indonesia dan merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) yang dicanangkan dalam World Ocean Conference di Sulawesi Utara tahun lalu. “Implementasi penelitian ini juga akan menguntungkan bagi para nelayan pada umumnya, skala besar maupun kecil,” ujar Agung.
Penelitian akan difokuskan pada morfologi laut, pemetaan bathymetri untuk mengetahui kontur dan kedalaman laut, oseanografi, serta karakteristik habitat di perairan tersebut. “Penelitian ini juga akan mencoba menggali potensi hidrotermal di wilayah tersebut beserta studi dampak aktivitas hidrotermalnya,” ujar Budi Sulistyo, Direktur Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-tinggal, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Selain menjadi penelitian pertama di perairan pulau-pulau terdepan tersebut, Budi menjelaskan, kajian bersama tim dari AS ini merupakan yang pertama yang melibatkan beberapa disiplin ilmu, yakni bidang kelautan, geologi, dan habitat.
Indonesia dan AS merupakan kontributor bagi Prakarsa Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle Initiative (CTI), kemitraan antara enam negara Asia Tenggara-Pasifik. Sekitar sepertiga sumber daya pesisir dan laut di daerah ini secara langsung menjadi tempat bergantungnya mata pencaharian masyarakat di daerah tersebut.
Dengan memahami kondisi fisik laut di kawasan tersebut,dapat diambil langkah-langkah terbaik untuk menerapkan pengelolaan perikanan dan pelestarian lingkungan laut secara berkelanjutan, termasuk upaya melindungi spesies yang terancam punah seperti penyu laut, hiu dan beberapa jenis tuna. Hal yang tidak kalah penting adalah sebagai bekal untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang kian mengancam.***

Video jebak berhasil rekam keluarga harimau

Posted by Firman Firdaus on January 7, 2010
Untuk pertama kalinya video jebak (video trap) yang dipasang oleh tim riset WWF-Indonesia di Sumatra Bagian Tengah, tepatnya di antara dua wilayah konservasi Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Propinsi Riau dan Jambi, berhasil merekam gambar harimau betina dan dua anaknya. Temuan ini memberikan informasi ilmiah dan unik mengenai tingkah laku satwa dilindungi tersebut.
Setelah beroperasi selama satu bulan, kamera video otomatis bersensor itu berhasil mendokumentasikan foto keluarga Harimau sumatra saat mereka berjalan melintasi dan mengendus video jebak tersebut.
Saat ini diperkirakan hanya terdapat sekitar 400 individu Harimau sumatra di alam liar dengan status kritis terancam punah (critically endangered) di mana keberadaan mereka terus terancam oleh rusaknya habitat, dan perdagangan serta perburuan ilegal.
Setelah lima tahun penelitian harimau menggunakan kamera jebak (camera trap) yang menghasilkan gambar tak bergerak, pada September 2009 WWF mulai menggunakan video jebak untuk melengkapi
temuan-temuan sebelumnya. Hasilnya, pada Oktober 2009 untuk pertama kalinya di kawasan tersebut induk harimau beserta anaknya dapat didokumentasikan dengan video jebak saat berada di alam.
“Memperoleh cuplikan video tersebut hanya dalam jangka waktu satu bulan setelah pemasangan kamera video merupakan suntikan moral yang sangat berarti bagi tim kami di lapangan,” jelas Karmila Parakkasi, koordinator Tim Riset Harimau Sumatra WWF-Indonesia. “Meski demikian, kami merasa khawatir karena hutan di kawasan tempat kami memperoleh video serta foto harimau tersebut terancam oleh pembukaan lahan oleh dua perusahaan pulp dan kertas raksasa, perkebunan kelapa
sawit, serta perambahan dan penebangan liar. Yang menjadi pertanyaan, bisakah anak-anak harimau tersebut tumbuh besar di lingkungan seperti ini?” kata Karmila.
Temuan video ini didapatkan hampir berdekatan waktunya dengan peluncuran kampanye “Year of Tiger” yang akan dimulai serentak secara global pada 14 Februari 2010, yaitu bersamaan dengan dimulainya tahun harimau dalam kalender penanggalan China. Kampanye ini akan dilaksanakan di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang merupakan daerah sebaran harimau untuk meningkatkan kesadaran mengenai konservasi harimau.
Spesies harimau di seluruh dunia saat ini hanya tersisa 3.200 ekor yang meliputi enam subspesies yaitu Harimau sumatra, Bengal, Amur, Indochina, China Selatan, dan Malaya.
Selain mendapatkan gambar harimau betina dan dua anaknya, video jebak yang dipasang tersebut juga mendapatkan gambar harimau jantan dan satwa burunya yaitu babi hutan dan rusa, dan satwa lainnya seperti tapir, monyet ekor panjang, landak, dan luwak.
Video jebak bekerja dengan sensor infra merah yang otomatis bekerja saat sensor tersebut mengidentifikasi panas tubuh yang melintasinya. Peranti ini menjadi alat yang sangat penting dalam upaya mengidentifikasi individu harimau guna memonitor populasi serta habitat dan wilayah jelajahnya.
1.Video dapat di unduh di sini.
2. Foto resolusi tinggi dan peta dapat diunduh di sini, dengan mencantumkan copy right WWF-Indonesia/PHKA sebagaimana tercantum pada foto tersebut.

Pendekatan ekohidrologi untuk menangani krisis air

Posted by Firman Firdaus on December 8, 2009
Pengembangan dan aplikasi ilmu ekohidrologi dan ekoteknologi terbukti bisa memecahkan persoalan manajemen air perkotaan dengan biaya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan membangun infrastuktur pengolahan air dengan teknologi tinggi.
“Meski masih dalam skala kecil, kami sudah mengaplikasikan ekoteknologi berupa penggunaan lahan basah buatan di Pesantren Cililin, dekat kawasan Waduk Saguling, Jawa Barat,” ungkap Dr. Gadis Sri Haryani, Kepala Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di sela-sela acara SWITCH-in-Asia Regional Partnership Workshop di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Selasa (8/12).
Di pesantren tersebut, Gadis menambahkan, air wudhu dari para santri dialirkan ke lahan basah buatan yang ditanami tetumbuhan yang berfungsi sebagai “filter” untuk menyerap dan menetralisir kuman dan pencemar lainnya. “Semacam bioremediasi,” jelas Gadis.
Ekohidrologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi proses hidrologi dan dinamika biologi dan/atau ekologi dalam kondisi spasial (ruang) dan temporal (waktu). Pendekatan ekohidrologi memandang persoalan air sebagai “sumber daya”, bukan hanya sebagai “air”.
Hingga akhir abad ke-20, hidrologi klasik masih berjalan terpisah dengan pendekatan ekologi. Pada 1990-an, dengan difasilitasi oleh dua badan di bawah UNESCO (badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya) lahirlah integrasi ekologi dan hidrologi atau disingkat ekohidrologi.
Sementara itu, dalam kesempatan workshop, Gadis mengatakan bahwa kebutuhan air untuk penduduk kota besar, terutama di Asia bakal terus meningkat seiring pesatnya pertumbuhan penduduk di kawasan ini. “Perlu ada perubahan mendasar dalam pola pengelolaan air, karena pertumbuhan penduduk bukan hanya menyebabkan meningkatnya kebutuhan jumlah air melainkan juga berpengaruh terhadap kualitas air yang terancam pencemaran dan polusi,” papar Gadis.
Program SWITCH (Sustainable Water Management Improves Tomorrow’s Cities Health) yang didirikan IHE-UNESCO sejak 2006 dan berkedudukan di Delft, Belanda merupakan bagian dari upaya mengubah pola pengelolaan air, salah satunya dengan cara mengubah perilaku dan pola pikir manusia pengguna air.
Hubert Gijzen, Direktur dan Perwakilan Kantor UNESCO di Jakarta yang juga profesor di IHE-UNESCO mengatakan bahwa upaya mengubah sikap dan perilaku pengguna air merupakan langkah awal untuk mengatasi rumitnya permasalahan air khususnya di perkotaan. “Hanya mengandalkan pendekatan teknologi saja sudah terbukti gagal dan lebih banyak memakan biaya. Dengan program SWITCH, kita melihat persoalan air secara menyeluruh,” ujar Hubert.
Partnership workshop ini dihadiri oleh 75 peserta dari 18 negara di Asia, di mana wakil dari tiap negara akan memaparkan pandangan, temuan, teknologi, dan program yang telah dimulai di negaranya sebagai bahan studi banding bagi negara lain.

Penderita Aktif Hepatitis di Jakarta Mencapai Angka 500 ribu

Posted by Firman Firdaus on December 8, 2009
Oleh Titania Febrianti
Orang yang terinfeksi Hepatitis B mencapai jumlah 350 juta di seluruh dunia dan dua belas juta orang di antaranya hidup di sekeliling kita di Indonesia. “Namun, dari lima ratus ribu penderita aktif hepatitis (yang hidup di Jakarta), yang sampai ke dokter hanya 30 persen,” ujar Dr Andri Sanityoso Sulaiman, SP. PD-KGEH.
Keprihatinan inilah yang mengundang Dinas Kesehatan wilayah DKI untuk menyelenggarakan simposium akbar bagi para dokter umum dan dokter puskesmas se-DKI Jakarta, berkerja sama dengan Klinik Hati Prof. Dr. H. Ali Sulaiman dan Ikatan Dokter Indonesia wilayah Jakarta pada tanggal 3 hingga 4 Desember 2009. Simposium yang dilaksanakan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kompetensi para dokter khususnya di puskesmas, dalam mendagnosis serta menangani penyakit hepatitis B dan C.
Menurut Prof. Dr. H. Ali Sulaiman, SpPD-KGEH, jumlah kasus Hepatitis C mulai menyaingi kasus Hepatitis B akibat merebaknya penggunaan narkoba dengan jarum suntik. Dari sekitar 200 ribu penderita Hepatitis C yang ada di Jakarta, hanya 10 persen yang terobati oleh tenaga medis. Dr Dien Emawati M Kes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta berharap, dengan adanya seminar ini, pasien dapat ditangani secara dini hingga tidak akan ada lagi penduduk miskin yang tidur di lorong-lorong rumah sakit atau ditolak karena terlanjur mengalami infeksi berat.
Pada tahun 1991, Hepatika Laboratories Ltd. di Mataram, Lombok telah berhasil membuat suatu reagensia untuk pemeriksaan Hepatisis B surface antigen (HBsAg) untuk pertama kali di Indonesia. “Reagen ini sudah diteliti di luar (negeri) dan sudah diakui dengan cukup baik,” ujar Ali. Namun, hingga kini alat tersebut belum bisa didapatkan di Jakarta. Padalah menurut Dien harganya murah, “Tak sampai satu mangkuk baso,” ujarnya memberi perumpamaan. Ali dan Dien berharap, dengan tersedianya alat pengetesan dini hepatitis di Jakarta dalam waktu dekat, penanganan terhadap penyakit dapat dilakukan secara dini pula.

Mendesak, rencana tata ruang berkelanjutan untuk konservasi Papua

Posted by Firman Firdaus on November 12, 2009
Mulai hari ini (12/11) hingga Sabtu (14/11) diselenggarakan konferensi bertajuk International Biodiversity Conference atau Konferensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati, mengenai pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
Konferensi ini menghadirkan sekitar seratusan orang peserta termasuk pakar dan ilmuan dunia dan nasional, penggiat lingkungan, pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat, pemerintah pusat, LSM, pengusaha, dan perwakilan masyarakat adat. Konferensi ini dilaksanakan guna berbagi pengalaman dan menghimpun masukan dalam upaya mengintegrasikan aktivitas pembangunan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
Papua, bagian paling timur Indonesia, saat ini terdiri dari dua provinsi, Papua dan Papua Barat dengan total kawasan seluas sekitar 421.981 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2004 (BPS, 2006).
“Tekanan dan ancaman bagi keanekaragaman hayati di Papua meningkat sejalan dengan keberadaan Papua sebagai target para investor untuk industri-industri perkebunan-kehutanan berskala besar. Ditambah lagi dengan permintaan permbangunan infrastruktur yang juga meningkat,” kata Abraham. O. Atururi Gubernur Papua Barat.
Abraham menambahkan, kegagalan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati yang telah terjadi di Sumatra dan Papua sebaiknya tidak terulang lagi di Tanah Papua.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Papua Barnabas Suebu merinci lima strategi kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Propinsi Papua, yaitu: 1) Setidaknya 50 persen dari hutan konversi dipelihara untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan; 2) Hutan primer dengan nilai konservasi tinggi tidak boleh dialokasikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit dan pemanfaatan lainnya; 3) Meningkatkan upaya efisiensi dan produktivitas lahan yang ada termasuk lahan perkebunan kelapa sawit yang ada; 4) Mempromosikan dan mengembangkan industri-industri berbasis energi terbarukan dalam kerangka kebijakan yang sama sekali tidak menggunakan energi fosil; 5) Mempromosikan pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah pada bidang pertanian, kehutanan dan perikanan sebagai mesin penggerak ekonomi di kampong-kampung.
Dengan luasan hutan sekitar 42 juta hektare yang dimiliki Papua, Gubernur Suebu juga menunjukkan posisi signifikan bagi Papua dalam upaya memitigasi perubahan iklim global, termasuk keinginan provinsi tersebut untuk mempresentasikan rencana pembangunan rendah karbon (low-carbon development plan) dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen pada Desember 2009.
Dalam sambutannya, Prof DR. Emil Salim sebagai Dewan Penasehat Presiden mengatakan bahwa lebih dari 50 persen keanekaragaman hayati Indonesia ditemukan di Papua, dengan rata-rata spesies endemik yang tinggi. Tanah Papua juga memiliki ekosistem yang lengkap dari ekosistem terumbu karang dan mangrove hingga ekosistem savana, hutan dataran rendah, tinggi, dan pegunungan.
Benja Mambai, DIrektur WWF-Indonesia untuk Program Sahul menekankan pentingnya konsistensi dalam menerapkan rencana tata ruang berkelanjutan di Papua “untuk merefleksikan nilai ekologi, sosial, dan budaya yang dimiliki Papua,” ujarnya.
Konferensi ini diharapkan dapat menghimpun masukan dari berbagai pihak mengenai konservasi, pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam dalam pembangunan ekonomi dan sosial, serta nilai budaya masyarakat asli di Tanah Papua.***

Amerika pelan-pelan menyusul

Posted by Firman Firdaus on September 30, 2009
Negeri Paman Sam, yang dikecam dunia karena menolak meratifikasi Protokol Kyoto, pelan-pelan mulai melangkah pasti dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Mereka membekali dirinya untuk menghadapi pertemuan para pihak (COP) di Kopenhagen, Denmark, Desember ini dengan posisi solid: penurunan emisi sebesar 9 persen selama kurun waktu dua tahun terakhir.
Itu merupakan hasil dari pemberlakuan beberapa standar seperti standar bahan bakar kendaraan hemat bahan bakar, perlengkapan rumah tangga, dan sumber energi listrik yang “bebas karbon”. Sementara itu, mereka juga terus meningkatkan suplai energi yang mendukung sumber energi terbarukan seperti angin, surya, dan panas bumi. Bahkan, menurut data resmi statistik energi AS, sejak 2005, telah terjadi penurunan konsumsi energi sebesar sepersepuluh kali lipat hingga tahun lalu dan trennya masih terus menurun.
Betul, sebagian besar sebabnya adalah kenaikan harga minyak dunia beberapa tahun belakangan, namun upaya untuk beralih ke sumber-sumber energi terbarukan juga tidak bisa dikesampingkan, termasuk upaya Kongres agar dibuat undang-undang untuk memangkas emisi hingga 15 atau 20 persen pada 2020.
Indikasi lainnya adalah ditutupnya beberapa pabrik batu bara, sebaliknya “ladang angin” bertambah. Tahun lalu, sebanyak 102 kincir angin beroperasi, menghasilkan 8.400 megawatt. Instalasi sel surya juga tumbuh 40 persen setahun.
Hal-hal tersebut tentu saja merupakan berita gembira. Kita rasanya sudah bosan mendengar negara maju yang obral janji soal pemberian dana konservasi energi kepada negara dunia ketiga, seperti Indonesia, misalnya, melalui mekanisme perdagangan karbon atau REDD yang rumit-rumit itu. Langkah signifikan di negara mereka sendiri saja sudah cukup membuat kita sedikit berlega dan tidak perlu dikejar-kejar untuk “berhemat”. Karena toh amanat Protokol Kyoto sendiri menyebutkan bahwa perubahan iklim mesti menjadi “perhatian bersama dengan tanggung jawab yang berbeda-beda” (common but differentiated responsibilities).

Comments