Info Terkini

Masyarakat negara berkembang berharap pada Obama

Posted by Firman Firdaus on September 28, 2009
Menurut jajak pendapat terbaru, 53% dari masyarakat Asia percaya bahwa kesepakatan di Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen pada bulan Desember bergantung pada kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (15%) dan Perdana Menteri India Manmohan Singh (14%) yang dipandang sebagai pemimpin yang sangat penting terutama oleh konstituen mereka sendiri. 58% dari masyarakat Indonesia memercayakan pemimpin mereka sebagai orang yang seharusnya memimpin upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.
Jajak pendapat ini dilakukan oleh Syvonate pada Agustus 2009, salah satu badan peneliti pasar terkemuka, yang ditugaskan oleh WWF, Greenpeace South East Asia dan 350.org untuk mendukung kampanye Tcktcktck, kampanye bersama beberapa LSM internasional. Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di China, India, Indonesia, Filipina dan Thailand memberikan mandat yang kuat kepada pemimpin negara mereka untuk aksi perubahan iklim pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York dan Konferensi G20 Summit di Pittsburgh yang akan diselenggarakan akhir bulan ini.
Mayoritas penduduk Indonesia mengatakan bahwa semua pihak—negara maju dan negara berkembang utama termasuk Indonesia—harus menjadi pemimpin dalam menanggulangi perubahan iklim, sejalan dengan hasil jajak pendapat yang juga dilakukan di tingkat regional. Hampir seluruh penduduk Indonesia (78%) menginginkan presiden mereka untuk memimpin dan Indonesia merupakan negara kedua di antara mereka yang melakukan jajak pendapat yang mengatakan bahwa negara maju harus memimpin (72%). Jumlah terkecil di dalam survei (57%) berpikir negara-negara berkembang utama harus memimpin.
“Secara khusus, Indonesia harus mendorong negara-negara industri untuk menurunkan emisi mereka secara signifikan guna menjaga agar peningkatan suhu global kurang dari 2 derajat Celsius; di mana pada tingkat ini, dampak perubahan iklim masih dapat dikendalikan. Keterbatasan waktu yang dihadapi menuju Kopenhagen, keterlibatan aktif dan pengaruh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat diperlukan untuk memastikan hasil positif dari forum-forum penting, di antaranya MEF (Major Economic Forum), Majelis Umum PBB, dan G20,” ungkap Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF-Indonesia.
Masyarakat Asia menunjukkan keinginan yang kuat untuk bertindak dan mendesak negara maju dan berkembang untuk bersatu menghasilkan solusi global. Sementara 73% setuju bahwa negara maju harus memimpin masyarakat dunia dalam memerangi perubahan iklim, “karena mereka secara historis bertanggung jawab untuk sebagian besar emisi gas rumah kaca dan pada saat yang sama mampu mengurangi sebagian besar mereka”, 68% mengatakan bahwa negara berkembang harus bergabung dalam usaha tersebut, “karena laju peningkatan emisi mereka yang tinggi menambahkan lebih banyak kondisi polusi yang sudah ada dan mereka harus beralih dari model pembangunan yang kotor ke model pembangunan bersih”.
“Hasil jajak pendapat merefleksikan aspirasi dan kearifan bersama dari masyarakat urban di Asia, mengirimkan pesan kuat kepada para pemimpin negara-negara maju, terutama Presiden Obama, agar bekerja sama dengan negara-negara berkembang untuk memberikan kontribusi yang adil dan tepat menuju target reduksi emisi global”, kata Shailendra Yashwant, Direktur Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.
Sehubungan dengan dampak berbahaya dari perubahan iklim seperti yang diproyeksikan oleh para ilmuwan, masyarakat Asia paling khawatir dengan kekurangan air (32%) dan memburuknya kondisi kesehatan (31%), diikuti oleh kepunahan hewan dan tumbuhan (20%) dan kekurangan pangan (17%)—sebagian dampak ini sudah dirasakan negara-negara berkembang di Asia.
Seperti kebanyakan hasil jajak pendapat di negara-negara lain, masyarakat Indonesia paling khawatir tentang masalah kesehatan dan kekurangan air akibat perubahan iklim. Tiga puluh dua persen mengatakan bahwa hal tersebut menjadi keprihatinan utama. Sementara itu, menghentikan deforestasi merupakan prioritas utama bagi masyarakat Asia, termasuk Indonesia, sebagai cara untuk mengurangi emisi. Empat puluh lima persen dari masyarakat Indonesia, persentase yang lebih besar dibanding tempat lain kecuali India, mengatakan penghentian deforestasi merupakan tindakan pertama yang harus diambil untuk mengatasi perubahan iklim.
Menariknya, Indonesia adalah satu-satunya negara selain Filipina di mana perubahan gaya hidup dan pola konsumsi adalah pilihan populer yang kedua dari berbagai kegiatan untuk mengatasi perubahan iklim. Dua puluh satu persen masyarakat Indonesia yang disurvei mendukung tindakan-tindakan pribadi tersebut untuk mengatasi perubahan iklim. Meskipun hampir sama banyak (20%) memilih untuk reformasi sektor energi, ini adalah 8% lebih rendah daripada rata-rata kawasan ketika memilih energi bersih sebagai prioritas utama. Hanya 14% ingin tindakan dalam sektor pertanian untuk diprioritaskan dalam memerangi perubahan iklim.
Jajak pendapat ini dirilis di depan Forum Ekonomi Utama di Washington (17-18 September), Pertemuan puncak Ban-ki Moon mengenai perubahan iklim, Pemimpin KTT tentang Perubahan Iklim, Majelis Umum PBB di New York (21-22 September), dan G20 Summit di Pittsburgh (24-25 September). Perundingan iklim PBB akan dilanjutkan di Bangkok pada tanggal 28 September (hari ini), dan kemajuan di Bangkok akan sangat tergantung pada hasil dari pertemuan di Amerika Serikat.***

Konservasi budaya di dunia maya

Posted by Firman Firdaus on August 31, 2009
Memang ini tidak cukup erat kaitannya dengan blog Area Hijau, tapi konservasi budaya juga termasuk dalam disiplin ilmu lingkungan kan? Setidaknya masuk dalam ranah lingkungan sosial :)
Kembali ke topik, kini ada situs wiki yang berisi tentang informasi mengenai berbagai kebudayaan “asli” Indonesia. Dalam pengantar, situs ini menyebutkan:
Situs www.budaya-indonesia.org diperuntukkan bagi dan menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia sebagai media untuk menggali, mengapresiasi, dan menjaga ketahanan kebudayaan tradisional Indonesia secara tidak tradisional (preserving traditional culture untraditionally).
Kehadiran situs ini mungkin cukup relevan, terkait masalah sengketa budaya asli Nusantara dengan Malaysia. Selengkapnya silakan kunjungi www.budaya-indonesia.org.

Bintang Jasa Pratama untuk Kepala Adat Dayak Wehea

Posted by Firman Firdaus on August 20, 2009
Letdjie Taq, Kepala Adat Dayak Wehea di Kalimantan Timur, menerima Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Indonesia 15/8 lalu di Istana Negara. Tanda Kehormatan diberikan atas jasanya dalam memimpin masyarakat Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur untuk melestarikan budaya dan mengonservasi hutan eks konsesi HPH seluas 38.000 hektare yang dikukuhkan secara adat tahun 2004 sebagai hutan lindung.
Letdjie Taq sehari-hari adalah seorang guru sekolah dasar dan ayah empat anak. Sebelumnya, Letdjie Taq mewakili warganya menerima penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup yakni Kalpataru 2009. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, 5 Juni lalu.
“Hutan tempat sumber penghidupan dan kehidupan warga akan segera musnah jika kita tidak bertindak sekarang. Hutan laksana lumbung. Hilang hutan berarti hilang adat istiadat yang telah turun-temurun berlangsung di budaya kami. Penghargaan ini merupakan kehormatan besar bagi warga kami. Ini semakin mengukuhkan tekad kami untuk melestarikan dan mengamankan kawasan hutan dan habitat orangutan karena mereka adalah bagian dari kami sebagai manusia hutan yang menggantungkan hidup pada hutan,” ujar Letdjie Taq.
Di tengah maraknya kasus pengrusakan hutan, baik karena dalih peningkatan ekonomi maupun pembalakan liar, warga Wehea giat memproteksi hutan mereka. Melalui kerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur dan Lembaga Swadaya Masyarakat The Nature Conservancy, keberadaan Hutan Lindung Wehea (atau dalam bahasa lokal dikenal dengan Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen) yang berada di wilayah tanah adat mereka bisa terjaga untuk generasi mendatang.
“TNC sepenuh hati mendukung upaya konservasi yang berbasis budaya dan bersifat memberdayakan warga seperti yang terjadi di Wehea,” kata Dicky Simorangkir, Direktur Program Hutan TNC Indonesia. “Masyarakat senantiasa berada di pusat setiap upaya konservasi kami bersama pemerintah karena kami percaya tanpa mereka status perlindungan biasanya hanya di atas kertas,” Dicky menambahkan.
Sejak ditetapkan sebagai hutan adat, pembalakan hutan dan perburuan liar menurun drastis hingga nol kasus. Guna mendapatkan penghasilan tambahan, warga mengembangkan persemaian yang berisi bibit meranti, agathis, kapur, karet dan coklat. Masyarakat Wehea telah membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menjaga kelestarian hutan tempat mereka bergantung.
Salah satu faktor penting lain yang menentukan keberhasilan warga menjaga hutan adalah pembentukan Petkuq Mehuey (satuan penjaga hutan swadaya). Mereka bertugas di dalam hutan bersama-sama dengan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang dibekali dengan keterampilan memonitor jenis dan jumlah flora dan fauna di hutan selain berjaga dari penjarah dan perambah.

Yang muda yang peduli perubahan iklim

Posted by Firman Firdaus on August 14, 2009
Hari ini saya mendapat kabar soal pemenang kompetisi “School Climate Challenge” yang diselenggarakan oleh British Council. Kompetisi ini bertujuan untuk mendorong semua pihak agar aktif berpartisipasi dari sekarang dalam mengatasi pemanasan global termasuk pihak sekolah dan anak muda yang akan menjadi generasi penerus dan menghadapi dampak perubahan iklim di masa datang.
Dalam kompetisi yang diikuti oleh sekitar 200 sekolah ini, peserta diminta untuk mengirimkan proposal kegiatan dalam lingkup sekolah (dan sosial) mereka yang bisa berkontribusi terhadap upaya mitigasi perubahan iklim, atau konservasi lingkungan pada umumnya.
Hasilnya, jika melihat bahwa pesertanya merupakan siswa SMA, menurut saya cukup luar biasa. Simak proyek para pemenang berikut:
JUARA 1
SMAN 1 Wringinanom, Gresik, Jawa Timur
Proyek: Restorasi bantaran kali di Surabaya: Pendekatan Multistakeholder.
JUARA 2
SMAN 1 Sukowati, Bali
Proyek: Pengaruh pemanfaatan kompos daun nangka dan limbah sayuran terhadap kadar N2O di tanah sawah Subak Wos Teben.
JUARA 3
SMA Saint Laurensia, Banten
Proyek: Penggunaan mikroorganisme untuk pengolahan limbah.
Pihak juri menilai sekolah-sekolah tersebut mampu memenuhi kelima kriteria penilaian untuk (1) inovatif dan kreatif; (2) dapat berkontribusi terhadap solusi perubahan iklim; (3) memberikan manfaat peningkatan ekonomi bagi komunitasnya; (4) memungkinkan adaptasi proyek serupa untuk dilakukan di komunitas lain; dan (5) proyek tersebut membawa dampak positf baik bagi sekolah maupun masyarakat secara luas.
Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah limbah (juara 3) memang bukan hal baru, tapi rasa lega saya tidak berkurang karena saya menemukan harapan pada diri anak-anak muda ini. Dan saya rasa poin terpenting dari kegiatan-kegiatan sejenis ini memang itu, menumbuhkan awareness dan menemukan bibit-bibit penggerak, pembaharu, yang bisa berbuat banyak untuk perbaikan lingkungan.
Semoga harapan saya, juga harapan kita semua, tidak mati begitu saja sebelum benar-benar berarti. Selamat kepada para pemenang!

Titik balik daya dukung lingkungan

Posted by Firman Firdaus on August 13, 2009
Setiap kali pulang kantor, atau dalam setiap perjalanan di Jakarta, saya melihat ini: betapa banyaknya manusia, betapa sesaknya ruang dengan bangunan beton, dan betapa banyaknya mobil dan motor di jalan raya. Kemudian pikiran saya melayang pada proyeksi dan ketakutan-ketakutan: sampai kapan dan sampai di mana kita akan menjumpai titik balik, tipping point, keseimbangan atau bahkan ketimpangan antara pertumbuhan manusia (dengan segala perilakunya) dan pembangunan untuk mengimbanginya.
Bayangkan ini: total panjang jalan di DKI Jakarta mencapai 5.621,5 kilometer dan hanya bertambah 0,01 persen per tahun. Dengan ketidakseimbangan jumlah pertambahan kendaraan dan panjang jalan ini, Jakarta akan mencapai kondisi macet total dalam waktu tak lama lagi. Beberapa pengamat transportasi memperkirakan, semua kendaraan di Jakarta akan terjebak kemacetan sesaat setelah keluar dari rumah pada tahun 2014.
Ahli transportasi Universitas Trisakti, Fransiskus Trisbiantara, bahkan lebih ekstrem lagi dengan memperkirakan kemacetan total dapat terjadi pada 2011-2012 jika tidak ada langkah berarti dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Kompas, 19/7).
Itu baru Jakarta (dan baru urusan transportasi). Imajinasi saya kemudian melayang ke alam kita, tempat kita hidup. Kita masih banyak bergantung pada daya dukung lingkungan. Kita masih membutuhkan hutan untuk menyimpan cadangan air dan mempertahankan lanskap tanah agar tidak longsor, juga sebagai penyerap emisi karbon. Selain itu warga dunia masih membutuhkan kondisi iklim lokal yang stabil.
Pertanyaannya, sampai kapan alam mendukung kita? Di manakah titik balik daya dukung lingkungan ini? Apa yang akan terjadi bila pada akhirnya hewan atau tumbuhan langka saat ini akan benar-benar punah sama sekali? Kira-kira keseimbangan ekosistem yang seperti apa yang akan terganggu? Dan bagaimana kita menghadapinya?
Robert Lester dari Earth Policy Institute memaparkan, kebanyakan negara maju sudah berpikir (dan bertindak) untuk “mengatasi” lingkungan. Negeri Belanda bahkan sudah melakukannya sekitar seribu tahun lalu dengan membuat sistem bendungan dan pengelolaan air yang sophisticated untuk mengatasi kondisi lanskap mereka yang berada di bawah permukaan air laut.
Sementara negara-negara maju lain (kecuali AS) sudah menunjukkan penurunan laju pertumbuhan penduduk yang signifikan sebagai sebuah “jeda” untuk memberikan lingkungan kesempatan untuk berkonsolidasi. Mereka sudah memikirkan dan bahkan menggunakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Mereka “sadar” bahwa tidak selamanya lingkungan berpihak pada mereka (meski komitmen untuk memitigasi perubahan iklim masih patut dipertanyakan :))
Namun, kembali lagi, pertanyaannya seberapa besar upaya kita untuk bersiap menghadapi titik balik itu?
Jawabannya rasanya, kita, umat manusia, mesti memenangkan pertarungan antara tergerusnya daya dukung lingkungan dan kemauan politik untuk mengatasinya. Negara maju yang memiliki teknologi dan sumber daya lebih baik juga mesti terus membantu negara-negara dunia ketiga agar terhindar dari malapetaka “negara yang gagal” (fail state). Toh kita semua—meminjam lirik lagu The Scorpion Under the Same Sun—hidup di Bumi yang sama, menghirup udara yang sama, dan menikmati siraman sinar mentari yang sama.

Jurnalis mesti paham subjek yang diliputnya

Posted by Firman Firdaus on August 10, 2009
Seorang jurnalis harus memahami subjek yang diliputnya. Selain itu, jurnalis harus memiliki rasa concern terhadap topik yang ditulisnya karena dengan concern dan passion, tulisan yang dihasilkan adalah tulisan dari hati yang pada akhirnya bisa memengaruhi pembacanya.
Demikian kira-kira kesimpulan dari acara Journalist Seminar yang merupakan bagian dari program sosialisasi Coremap II, program pengelolaan terumbu karang, di Jakarta 4 Agustus 2009 lalu.
Hadir sebagai pembicara adalah mantan menteri kelautan sekaligus pemerhati lingkungan, Sarwono Kusumaatmaja, dan pakar hukum kelautan Hasyim Jalal. Sementara Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun hadir sebagai moderator.
“Tugas jurnalis adalah menciptakan kondisi ‘tahu’ dan menciptakan kondisi ‘ingin terlibat’ dari masyarakat,” papar Sarwono. Dalam kaitannya dengan konservasi lingkungan, dalam hal ini pengelolaan terumbu karang dan potensi kelautan, wartawan melalui tulisannya mesti bisa meyakinkan masyarakat bahwa konservasi lingkungan terkait erat dengan penyejahteraan kehidupan masyarakat pesisir. “Contohnya sebenarnya sudah ada di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Teluk Balikpapan yang melibatkan tiga wilayah, dan program mitra pesisir di Sulawesi Utara,” kata Sarwono.
Sementara itu, pakar hukum kelautan Hasyim Jalal menekankan pentingnya rasa kesatuan kebangsaan dalam mengelola laut Nusantara. Dalam kesempatan itu, Hasyim juga secara rinci menjelaskan pengertian laut beserta hak-hak setiap negara atas wilayah laut tersebut. Hasyim juga menyayangkan begitu kecilnya anggaran kelautan kita. “Masak kalah dengan anggaran pemilu?” ujarnya. Anggaran pertahanan kita, tambah Hasyim, bahkan kalah dengan negara kecil Singapura. Anggaran, menurut Hasyim amat penting karena pengelolaan laut bukan saja membutuhkan sarana dan peralatan yang tidak murah, melainkan juga dana untuk proses kaderisasi.
Namun, menurut Sarwono, pemahaman akan permasalahan kelautan jauh lebih penting untuk bisa mengelola laut secara berkelanjutan. Persoalan komitmen dan kesadaran masing-masing kepala daerah juga berperan sentral dalam memajukan masyarakat pesisir melalui konservasi.

Indonesia belum siap untuk perdagangan karbon?

Posted by Firman Firdaus on July 24, 2009
Kira-kira itu poin “menarik” yang bisa saya cuplik dari email rilis pers dari organisasi lingkungan Greenpeace hari ini, terkait penyelamatan hutan Papua. Menurut Greenpeace, buruknya tata kelola pemerintahan kita tidak mungkin bisa menerapkan rumitnya aturan dan standar-standar dalam mekanisme perdagangan karbon. Selain itu, skema perdagangan karbon juga tidak membuat negara-negara maju berkomitmen untuk menurunkan emisi.
“Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hutan, masyarakat, keragaman hayati Papua dan melawan perubahan iklim global adalah dengan melakukan aksi nyata global dengan segera. Ini artinya, negara industri harus memberikan pendanaan setidaknya US$40 milyar per tahun untuk melindungi hutan-hutan alam yang semakin menyusut dan melakukan penurunan emisi secara drastis di negara asal mereka,” demikian Yuyun Indradi, Pengkampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Soal tersendatnya perdagangan karbon dalam negeri mungkin ada benarnya. Sejak mulai berpartisipasi sejak sekitar 4 tahun lalu (dengan pembentukan Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih/MPB), baru ada 10 proyek CDM (clean development mechanism, salah satu mekanisme perdagangan karbon yang ditawarkan Protokol Kyoto) yang teregistrasi di UNFCCC selaku pengelola “bursa karbon” seluruh dunia.
Namun, saya belum berani mengatakan bahwa penyebabnya adalah buruknya tata kelola pemerintahan. Satu hal yang saya tahu, memang sosialisasi mengenai perdagangan karbon terutama di kalangan industri yang terkait (baca: berkepentingan) rasanya masih minim. Belum banyak perusahaan yang memahami betul bagaimana dan apa itu perdagangan karbon, dan apa untungnya buat perusahaan mereka.
Tapi poin yang juga patut direnungi dari rilis Greenpeace tersebut adalah bahwa perdagangan karbon membuat negara maju enggan untuk mengurangi emisi di negara mereka sendiri. Yang ini saya benar-benar setuju :)

“Kabar Baik” dari Ujung Kulon

Posted by Firman Firdaus on July 2, 2009
Studi kamera dan video jebak terkini mengembuskan angin segar bagi upaya konservasi Badak jawa Ujung Kulon yang berada di tubir kepunahan. Namun kerja keras menanti di depan mata.

Pengungsi iklim

Posted by Firman Firdaus on June 4, 2009
Pernah dengar istilah pengungsi iklim? Pengungsi iklim adalah populasi manusia yang akan terusir dari tempat tinggalnya akibat dampak perubahan iklim. Seperti diketahui, melelehnya lapisan es terbesar dunia membawa dampak yang jauh lebih besar bukan hanya bagi populasi hewan penghuni kutub, namun juga manusia yang hidup di belahan dunia yang berdekatan.
Menurut International Institute for Environment and Development (IIED), setidaknya 634 juta orang yang tinggal di sepanjang garis pantai dengan posisi 10 meter di bawah permukaan air laut, mereka menyebutnya Zona Pesisir Elevasi Rendah, akan terpaksa mengungsi akibat pelelehan es di dua lapisan es—Antartika dan Greenland. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh National Snow and Ice Data Center dan the National Center for Atmospheric Research terhadap laju reduksi lapisan es mengindikasikan bahwa pada 2050 seluruh lapisan es dunia akan sirna.
Salah satu negara yang paling rentan adalah China dengan jumlah 144 juta pengungsi iklim potensial. Selanjutnya India (63 juta) dan Bangladesh (62 juta). Bagaimana dengan Indonesia?
Agak mengejutkan, Indonesia termasuk dalam daftar lima besar, 42 juta. Negara lain yang masuk dalam sepuluh besar di antaranya Jepang (30 juta), Mesir (26 juta), dan AS (23 juta).
Jika benar menjadi kenyataan, ini merupakan perpindahan manusia paling masif yang pernah terjadi. Beberapa pengungsi bisa dengan mudah berpindah ke daerah yang lebih tinggi di negara mereka. Lainnya, bukan tidak mungkin mesti bermigrasi ke negara lain karena sudah begitu padatnya daerah dataran tinggi di negara mereka, seperti Bangladesh sebagai contoh.
Jika mendengar angka tahun 2050 mungkin sebagian besar dari kita akan santai-santai saja karena kedengarannya sepertinya masih sangat jauh di masa depan. Namun, waktu itu seperti terbang (tempus fugit) dan tanpa sadar, kita sudah berada pada masa depan yang “jauh” itu. Jika sudah begitu, apa lagi yang bisa dilakukan?
Kemauan politik-ekonomi dari negara-negara penghasil emisi terbesar merupakan cara paling rasional untuk meredam laju perubahan iklim global. Sementara, kita mungkin bisa memulai dengan hidup lebih bersahabat dengan lingkungan. Itu kalau kita tidak mau jadi pengungsi iklim 30-40 tahun mendatang.

Comments